-->
  • Jelajahi

    Copyright © PARADIGM
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Tersesat Didalam Buku-buku

    Kusnadiaal
    Selasa, 05 Mei 2020, Selasa, Mei 05, 2020 WIB Last Updated 2020-05-05T01:35:53Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini

    ilustrasi/(prgm)


    Setelah membaca Mitos Sisifus, pikiranku berhamburan keluar. Membayangkan diriku adalah Sisifus yang dihukum oleh Dewa, mengangkat batu keatas gunung lalu mendorongnya kembali ke bawah.

    Buku memang mampu merubah seseorang. Pikiran berubah, watak dan tingkah laku berubah.

    Aku pernah suatu waktu ingin seperti kakek Santiago yang malang; merasakan angin laut, terombang-ambing ditengah ketidakpastian. Lalu berjibaku dengan ikan marlin raksasa dan hiu-hiu ganas ditengah laut.

    Kemudian Camus membawaku kedalam ketidakberdayaan menghadapi dunia, aku seperti dipaksa menikmati hidup yang tak kuinginkan. Emosiku hilang, kesadaranku memudar. Segalanya kuterima sebagai sebuah kewajaran. Sejak saat itu aku mulai memahami segala nestapa yang menimpaku. Menerima sebagai sebuah kewajaran yang sempurna tanpa mempertanyakannya. Aku mengalami pasang surut kehidupan. Hingga puncaknya aku tak pernah sekalipun bisa merasakan cinta; melihat semua orang seperti diriku tak punya hasrat sama sekali.

    Aku merasakan diriku seperti Meursault, hidup dalam kewajaran sebagai manusia. Jika ingin membunuh maka ia akan membunuh, dia sama sekali tidak merasakan apa-apa; tenang, datar dan mengalir seperti air sungai namun bergelombang di kedalaman.

    Lalu aku membuka buku-buku yang bisa membawaku kembali merasakan hidup seutuhnya. Kuselami gagasan-gagasan Sartre, dan perlahan-lahan aku menemukan diriku pada mistik keseharian Heiddeger; aku seperti hidup ditengah kerumunan manusia yang sama. Aku pening, tak kuat lagi menahan pikiran-pikiran itu masuk dalam kepalaku.

    Kembali mendapati diriku dalam kebingungan, sebuah situasi yang tak pernah kualami.

    Sejak pikiran-pikiran itu merasuki diriku, aku berusaha menemukan secuil cinta dalam hatiku. Menguras semua daya pikirku, memperhatikan yang indah-indah, membaca puisi-puisi cinta; membaca Anis Mansour, lalu ia menuntunku pada syair-syair arab, namun lagi-lagi aku mendapati diriku hilang ditengah rimba kata-kata yang melankolis. Dan aku tersesat dan terus berjalan diantara pesta sejuta kata cinta.

    Kemudian tiba-tiba saja Hannah Arendt datang mendekatiku, ia berbisik padaku “Ini untukmu, anak muda” seraya menaruh buku itu dimeja kamarku. Bagaikan cahaya, ia menghilang entah kemana. Aku menoleh, memperhatikan tiap pojok kamarku. Kucari dirak buku ku, di kursi, di cangkir kopi yang sudah dingin. Namun tak dapat kutemui keberadaanya.
    Baca Juga :Eksistensi Cinta Menurut Jean Paul Sartre
    Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil. Sebuah judul buku yang ditinggalkan oleh Hannah Arendt untukku. Akhirnya Arendt selang beberapa menit, buku itu membawaku ke Jerusalem. Aku tak bisa membayangkan diriku bila pertemuan pertamaku dengan Eichmann membuatku jatuh cinta padanya. “Tidak mungkin aku jatuh cinta padanya” gumamku “Orang sepertinya adalah monster pembunuh jutaan manusia”.

    Kulihat wajahnya lugu, perangainya seperti orang baik dan alim, tidak sama seperti reputasinya yang beringas. Lagi-lagi Arendt mengahmpiriku seperti setan, ia kemudian menepuk pundakku, “Hai anak muda, lihat wajah Eichmann, ia seperti Meursault bukan. Tidak tampak wajah yang beringas, ketika ditanya oleh hakim ia menjawab dengan jujur dan normatif. Tapi mengapa orang seperti Eichmann ini bisa melakukan hal yang brutal?” tanya Arendt padaku. Aku diam sejenak, lalu menggelengkan kepala, menandakan aku sama sekali tidak bisa menjawab.

    Arendt tersenyum kecut padaku, matanya tajam memandang mataku, lalu ia berseru “Itu adalah banalitas dari kejahatan, anak muda. Eichmann menganggap kejahatan tidak lagi menjadi sebuah kejahatan, tetapi sebagai suatu yang biasa-biasa saja. Suatu yang wajar”. Aku tertegun mendengar perkataannya. Aku sama sekali tak mampu menangkap maksud dari Arendt tersebut. Arendt menambahkan “Yang kurang dari Eichmann adalah kurangnya imajinasi, mereka sama sekali tidak membayangkan akibat dari perbuatan mereka. Mereka tidak memiliki cinta”.

    Seperkian detik kemudian, Arendt pergi bak Jailangkung; ia datang dan pergi semaunya. Aku kaget, tiba-tiba saja aku sudah duduk di meja kamarku seperti semula. Suara desis terdengar lirih dalam kamarku, aku sama sekali tidak tahu dari mana asal suara itu, suara itu mengatakan “Akal yang tertidur akan membangunkan monster” berulang-ulang sampai kepalaku pening.

    Lalu sekelebat bayanganku menuju masa-masa perang dunia II, kulihat Eichmann dengan gesit mengatur transportasi orang-orang Yahudi dari seluruh Eropa untuk dibawa ke kamp-kamp konsentrasi buat Nazi, Jerman. Bayangan itu masih dikepalaku, kemudian perlahan-lahan memudar. Kesadaranku mulai normal kembali. Ketegug air putih yang tersedia di mejaku hingga tandas. Lalu kurebahkan tubuh ku diatas kasur.

    Kulihat langit-langit kamarku, jauh dan jauh. Hingga aku terlelap perlahan-lahan dalam pelukan dinginnya malam.

    Dalam mimpiku aku bertemu Maulana Rumi, beliau berseru padaku, “Hai kau, jangan risau, tidak ada suatu yang tidak kembali pada-Nya”. Beberapa menit setelahnya, Maulana Rumi membacakan Puisi untuk ku.

    Jika engkau belum mempunyai ilmu, hanyalah prasangka, maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan.
    Begitulah caranya.

    Jika engkau hanya mampu merangkak, maka merangkaklah kepada-Nya.
    Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyu, maka tetaplah persembahkan doamu yang kering, munafik, dan tanpa keyakinan
    karena Tuhan dengan rahmat-Nya akan tetap menerima mata uang palsumu.
    Jika engkau masih mempunyai seratus keraguan mengenai Tuhan, maka kurangilah menjadi sembilan puluh sembilan saja.
    Begitulah caranya.

    Wahai pejalan..
    biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji
    ayolah datang, dan datang lagi
    karena Tuhan telah berfirman:

    “Ketika engkau melambung ke angkasa, dan terpuruk ke dalam jurang, ingatlah pada-Ku, karena Aku-lah jalan itu.”

    (Kamar, 2020).
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    NamaLabel

    +