-->
  • Jelajahi

    Copyright © PARADIGM
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Klasifikasi Ikan Cupang

    Kusnadiaal
    Rabu, 25 November 2020, Rabu, November 25, 2020 WIB Last Updated 2020-11-25T12:53:22Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini


    A.
    Aspek Biologi Ikan Cupang (Betta sp.)

    1. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Cupang (Betta sp.)
    Taksonomi atau klasifikasi ikan cupang menurut Sugandy (2001), yaitu :
    Kingdom : Animalia
    Phylum : Chordata
    Class : Actinopterygii
    Order : Perciformes
    Family : Osphronemidae
    Genus : Betta
    Species : Betta sp.
    Ikan cupang (Betta sp.) terkenal karena sifatnya yang agresif dan
    kebiasaan hidupnya berkelahi dengan sesama jenis, sehingga dinamakan fighting fish. Warna tubuh ikan ini berwarna-warni, sehingga menjadi daya tarik para penggemar dan penghobi untuk mengoleksinya. Warna-warna klasik seperti
    merah, hijau, biru, abu-abu, dan kombinasinya banyak dijumpai.

    Warna-warna baru juga bermunculan dari kuning, putih, jingga, hingga warna-warna metalik
    seperti tembaga, platinum, emas, dan kombinasinya (Perkasa, 2001).
    Ikan cupang (Betta sp.) merupakan ikan yang memiliki banyak bentuk
    (Polymorphisme), seperti ekor bertipe mahkota/serit (crown tail), ekor setengah bulan/lingkaran (half moon), ekor pendek (plakat) dan ekor tipe lilin/selendang (slayer) dengan sirip panjang dan berwarna-warni. Keindahan bentuk sirip dan
    warna sangat menentukan nilai estetika dan nilai komersial ikan hias cupang (Yustina et al., 2003).

    Macam Bentuk Ekor Ikan Cupang (Betta sp.) : a) plakat,
    b) half moon, c) crown tail, dan d) slayer.
    (foto:tafshare.com)


    Penampakan warna pada ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis kelamin, kematangan gonad, genetik dan faktor geografi. Cupang jantan dapat dibedakan dari warnanya yang cerah dan menarik, bentuk perut ramping, serta
    sirip ekor dan sirip anal panjang. Sementara cupang betina berwarna kurang menarik, bentuk perut gemuk serta sirip ekor dan sirip anal pendek. Akibatnya, ikan cupang jantan memiliki nilai komersial tinggi karena sangat disukai dan diburu oleh pecinta ikan hias, Sehingga akan lebih efektif dan menguntungkan bila hanya diproduksi dan dipelihara jantannya saja (Zain, 2002). 

    Ikan jantan sangat agresif dan memiliki kebiasaan saling menyerang apabila ditempatkan dalam satu wadah (Ostrow, 1989).

    2. Perilaku Ikan Cupang (Betta sp.)
    Salah satu sifat yang terkenal dari ikan cupang adalah berkelahi satu sama 
    lainnya untuk mempertahankan wilayahnya. Sifat agresifnya menjadi daya tarik tersendiri bagi seseorang untuk menyukai ikan ini. Saat bereproduksi ikan cupang 
    memiliki perilaku yang unik, yaitu menari. Ketika bertelur, betina akan mendekati sarang dan memiringkan badannya untuk dijepit oleh jantan dengan meliukkan tubuhnya agar jantan bisa menyemprotkan spermanya ke telur-telur tersebut 
    (Perkasa dan Hendry, 2002)

    Cupang memiliki alat pernapasan tambahan yang disebut labirin 
    (labyrinth). Alat pernapasan tambahan ini dipergunakan untuk mengambil oksigen langsung dari udara. Karena itu, cupang mampu hidup walaupun dalam kondisi kekurangan oksigen terlarut di dalam air dan tanpa aerator (Perkasa, 2001).

    Berdasarkan cara berkembangbiaknya, cupang dibagi menjadi 2 kelompok 
    yaitu:

    a. Kelompok Pengumpul Busa (Bubblenester)
    Spesies cupang yang termasuk pengumpul busa diantaranya Betta imbellis, Betta smaragdina, Betta akaransis, Betta coccina atau cupang api-api, dan Betta fasciata atau cupang sumatera.

    b. Kelompok Perawat Telur (Mouthbreeder)
    Spesies cupang yang termasuk perawat telur diantaranya Betta 
    macrostoma atau Brunei Beauty, Makropodus opercularis atau cupang paradise, Betta urimacullata atau cupang emas, dan Betta brederi atau cupang raja (Linke, 
    1994; Sanford,1995).

    3. Reproduksi Ikan Cupang (Betta sp.)
    Proses pemijahan ikan cupang berlangsung dengan cara betina 
    mengeluarkan telur-telurnya dan jantan membuahi dan memunguti telur-telur serta meletakkannya didalam sarang busa. Setiap ikan cupang (Betta splendens) 
    dapat menghasilkan rata-rata telur sekitar 400-500 butir dalam satu kali proses pemijahan. Cupang jantan akan menjaga sarang, merawat telur, dan larva yang menetas sekitar dua hari kemudian. Pada habitat aslinya, beberapa jenis ikan cupang ditemui menngerami telurnya di dalam mulut (Mouthbreeder). Dalam satu 
    periode pemijahan biasanya anak cupang hias yang hidup mencapai 60% betina dan 40% jantan. Padahal cupang hias yang laku dipasaran hanya yang berjenis kelamin jantan, kecuali untuk tujuan sebagai induk betina (Perkasa, 2001).

    4. Habitat Ikan Cupang (Betta sp.)
    Ikan cupang (Betta sp.) hidup di daerah tropis, terutama di benua Asia 
    sampai Afrika. Habitat asalnya berupa perairan dangkal berair jernih, seperti 
    daerah persawahan atau anak sungai yang memiliki temperatur 24-27o C dengan kisaran pH 6,2 – 7,5 serta tingkat kandungan mineral terlarut dalam air atau kesadahan (hardnees) berkisar 5 – 12 dH. Pada umumnya ikan cupang sanggup bertahan hidup dan berkembang biak dengan baik pada kisaran pH 6,5 – 7,2 dan 
    hardnees berkisar 8,5 – 10 dH. Akan tetapi saat ini ikan cupang sudah banyak dibudidayakan dalam wadah atau lingkungan yang terkontrol seperti kolam, akuarium, bak dan wadah budidaya lainnya. Perkembangbiakan Betta sp. bersifat 
    bubblenester, yaitu membuat sarang busa sebelum memijah dan telur-telur 
    dimasukkan ke dalamnya (Linke, 1994; Sanford,1995).

    5. Pakan dan Kebiasaan Makan
    Ikan cupang (Betta sp.) pada umumnya menyukai jenis makanan yang bergerak, makanan harus tersedia sejak telur cupang menetas. Oleh karena itu, kebanyakan pembudidaya ikan cupang terlebih dahulu melakukan kultur pakan 
    alami sebelum memijahkan ikan cupang. 

    Adapun beberapa jenis pakan alami yang sering diberikan pada fase larva 
    ikan cupang antara lain Paramecium, Infusoria, Vinegar Eel, Artemia, Kutu Air, Jentik Nyamuk, Cacing Sutra, dan Blood Worm / Cacing Darah (Sudradjat, 2003).

    B. Sex Reversal
    Seks reversal merupakan satu teknik yang dapat dilakukan untuk 
    memperoleh keturunan monoseks, yang dalam hal ini adalah ikan jantan. 
    Pengubahan jenis kelamin melalui pemberian hormon 17α-metil-testosteron (MT) dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya dengan penyuntikan (Mirza & 
    Shelton 1988), perendaman atau secara oral (melalui makanan) (Eckstein & Spira dalam Hepher & Pruginin 1981). Pemberian hormon dilakukan sebelum ikan mengalami diferensiasi kelamin, yang biasanya mulai terjadi saat telur akan 
    menetas (Baker et al. 1988), setelah telur menetas dan sebelum atau sesudah ikan mulai makan (Yamazaki, 1983).

    Sex reversal dapat diartikan sebagai suatu teknologi yang membalikkan arah perkembangan kelamin menjadi berlawanan. Menurut Kadriah (2000), Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah untuk pengembangan teknologi produksi jantan 
    monoseks. Diantara beberapa cara untuk memproduksi jantan monoseks secara massal yang sudah banyak diketahui adalah teknik sex reversal.
    Menurut Piferrer (2001), sex reversal merupakan cara pembalikan arah 
    perkembangan kelamin ikan yang seharusnya berkelamin jantan diarahkan perkembangan gonadnya menjadi betina atau sebaliknya. 

    Teknik ini dilakukan pada saat belum terdiferensiasinya gonad ikan secara jelas antara jantan dan betina 
    pada waktu menetas. Sex reversal merubah fenotipe ikan tetapi tidak merubah genotipenya. Fenotipe merupakan ekspresi dari genotipe. Namun demikin, kondisi lingkungan tertentu juga berpengaruh terhadap ekspresi yang muncul secara 
    genotipe. Genotipe yang berbeda pada suatu populasi, khususnya ikan diduga akan menghasilkan ekspresi fenotipe yang berbeda pula. Teknik sex reversalmulai dikenal pada tahun 1937 ketika estradiol 17-β disintesis untuk pertamakalinya di Amerika Serikat. Pada mulanya teknik ini diterapkan pada ikan guppy
    (Poeciliareticulata).

    Diferensiasi adalah proses perkembangan gonad ikan menjadi jaringan yang defenitif (sudah pasti). Perlakuan diferensiasi kelamin akan berpengaruh apabila ada hormon yang merangsang gonad ikan atau aromatase inhibitor dalam 
    fase pembentukan kelamin. Hal ini didukung oleh pendapat Hunter dan 
    Donaldson, (1983) yaitu gonad akan berdiferensiasi menjadi jantan apabila ada hormon testosteron dan gonad betina akan berdiferensiasi menjadi betina apabila ada hormon estradiol.

    C. Hormon Testosteron
    Testosteron sebagai hormon steroid merupakan hormon yang bersifat 
    anabolik dan androgenik. Sifat androgenik lebih menonjol karena sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan organ reproduksi, organ seksual sekunder dan kelenjar aksesoris kelamin. Yamazaki (1983), menyatakan bahwa secara fisiologis 
    jenis kelamin ikan dapat diarahkan dengan menggunakan hormon steroid.
    Pemberian hormon dilakukan sebelum ikan mengalami diferensiasi kelamin, yang biasanya mulai terjadi saat telur akan menetas (Baker et al. 1988), setelah telur menetas dan sebelum atau sesudah ikan mulai makan (Yamazaki 1983).

    Hormon androgen adalah hormon steroid yang berfungsi memacu 
    pertumbuhan dan pembentukan sifat kelamin jantan. Salah satu jenis hormon steroid ini yaitu 17q-metiltestosteron. Hormon ini merupakan hormon sintetik 
    yang molekulnya sudah diubah. Pada atom karbon ke-17 diinduksikan gugus metal supaya tahan lebih lama bereaksi di dalam tubuh. Penggunaan androgen alami seperti testosterone tidak memberikan hasil yang memuaskan (Zairin,2002). Hormon androgen sintetis memiliki efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang alami. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam
    pemberian hormon steroid yaitu melarutkan hormon ke dalam air media pemeliharaan, memasukkan ke dalam makanan, dan penyuntikan (Fujaya, 2002).
    Menurut Sari (2006), hormon testosteron mampu meningkatkan populasi ikan guppy jantan sebanyak 67 % (perlakuan terbaik). Penggunaan hormon inidilakukan dengan cara merendam induk betina yang telah bunting tua. 

    Perendaman induk ikan bunting dalam larutan hormon testosteron dengan dosis 2 ml/l selama 30 jam.
    Piferrer (2001), juga menjelaskan bahwa sensitivitas hormon steroid 
    terhadap perkembangan diferensiasi sangat tergantung pada fase perkembangan gonad yang terjadi, sehingga puncak sensitivitasnya terjadi setelah fase pembelahan sel jaringan gonad atau sebelum jaringan gonad terdiferensiasi.

    D. Penampakan Warna Ikan
    Warna pada ikan disebabkan oleh adanya sel pigmen atau kromatofora 
    yang terdapat dalam dermis pada sisik, di luar maupun di bawah sisik. Warna merah atau kuning merupakan warna yang mendominasi ikan hias. Komponen utama pembentuk pigmen merah dan kuning ini adalah pigmen karotenoid. Astaxanthin merupakan molekul karotenoid yang dominan terdapat pada ikan (Satyani & Sugito, 1997). Sementara itu Lesmana (2002), menambahkan bahwa pigmen yang terdapat pada ikan dapat merupakan hasil sintesis di dalam tubuh, dan beberapa jenis pigmen lainnya harus diperoleh dari luar tubuh ikan melalui makanannya. Karoten adalah bahan utama pembentuk pigmen merah dan kuning yang tidak dapat disintesis sendiri oleh ikan tetapi diperoleh dari asupan makanan.
    Karoten berfungsi penting dalam fisiologis, yaitu dalam sistem endokrin seperti perkembangan dan pematangan gonad. Daphnia dan Tubifex mengandung karoten 
    yang mengakibatkan warna merah pada tubuhnya, sedangkan jentik nyamuk tidak (Latscha, 1990). Pada umumnya pigmentasi pada ikan secara makroskopis dapat dilihat seperti garis, pita dan bercak-bercak (Gustiono, 1992). 

    Menurut Zairin (2002), penampakan warna pada ikan dipengaruhi oleh 
    beberapa faktor yaitu jenis kelamin, kematangan gonad, genetik dan faktor 
    geografi. Sebagaimana telah diketahui bahwa pola pigmen merupakan karakter fenotipe yang selalu diturunkan dari induk pada turunannya. Selain faktor gen 
    sebagai pengontrol pola pigmen, lingkungan juga mempengaruhi fisiologi sel pigmen yang mendorong perubahan formasi pola pigmen yang muncul. Salah satu gen yang diketahui bertanggung jawab dalam mengkode pola pigmen dari ikan adalah gen tyrosinase (Tyr) (Haffter et al., 1996; Inagaki et al., 1998; 

    Kusumawati, 2011). Secara spesifik gen tyrosinase bertanggung jawab terhadap sintesis enzim tirosinase yang merupakan kunci utama untuk mensintesis melanocyte dan mutasi pada gen tyrosinase memberikan dampak defisiensi pigmentasi pada retina dan kulit embrio ikan rainbow trout (Boonanuntanasarn et 
    al., 2004). Regulasi suatu pigmen dikontrol secara genetik yang dikode oleh suatu gen yang memiliki susunan nukleotida interspesifik yang sesuai terhadap pola pigmen yang terbentuk (Sugie et al., 2004). Gen tyrosinase merupakan salah satu gen yang bertanggung jawab dalam mengkode pola pigmen.

    Gen berfungsi sebagai faktor untuk pengontrol pola pigmen. Selain itu,
    pakan dan lingkungan juga mempengaruhi fisiologi sel pigmen yang mendorong perubahan formasi pola pigmen yang muncul. Seperti yang dikemukakan oleh Hansen (2011), bahwa pemberian naupli kopepoda memberikan pigmen warna 
    yang lebih kuning pada larva ikan kod daripada perlakuan (kopepoda dan 
    pengkayaan rotifer), pengkayaan rotifer, dan rotifer Chlorella. Demikian juga Menurut Setiawati et al., 2011, kopepoda merupakan pakan alami yang umumnya ditemukan pada ikan klown asli yang dipelihara di karamba jaring apung.

    Selanjutnya Gouveia et al., (2003) menyatakan bahwa ekspresi pigmentasi dari beta-karoten yang terkandung dalam daging atau kulit ikan merupakan komponen 
    biologi pembentuk warna merah pada ikan. Beberapa hasil penelitian yang 
    menunjukkan bahwa faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap pigmentasi pada ikan diantaranya dari hasil penelitian Kusumawati (2011), yang menyatakan 
    adanya korelasi positif terhadap migrasi pola pigmen ikan badut pada eksperimen pemeliharaan dengan dua kondisi yang berbeda yaitu outdoor dan indoor.
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    NamaLabel

    +